Minggu, 15 September 2013

Perlakuan Hukum yang Benar Terhadap Anak yang berhadapan dengan Hukum




MAKALAH
Permasalahan Hukum Yang Berkaitan Dengan Siswa SD dan Penyelesaiannya Secara Hukum Serta Edukatif (Pendidikan Moral)
Diajukan Untuk Memenuhi Matakuliah :
Inovasi Pembelajaran PKn SD
Dosen :
Dra.Nina Nurhasana


Disusun oleh Kelompok 6 :
Anggota:
1. Alwisinda Wea
2. Bobby Aryanto Pandie
3.Zilvita Amin
4.Novriyanto L. Fomeni


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
PROGRAM PENDIDIKAN GURU TERINTEGRASI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013



KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan begitu banyak berkat dan pengasihannya kepada kita semua. Makalah ini dapat diselesaikan semata-mata atas kehendak-Nya dan rahmat cinta kasih-Nya yang berlimpah. Rasa syukur kami atas kemurahan-Nya karena telah diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah dengan judul “Permasalahan Hukum Yang Berkaitan Dengan Siswa SD dan Penyelesaiannya secara Hukum Serta Edukatif (Pendidikan Moral). Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar makalah ini dapat sempurnah seperti yang kita harapkan. semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Daftar isi
Halaman judul................................................................................................
Kata pengantar..............................................................................................i
Daftar isi .................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan........................................................................................iii
1.1 Latar belakang..........................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................
1.3 Tujuan
Bab II pembahasan................................................................................................
A. Pengertian Hukum......................................................................................
B. Permasalahan hukum yang berkaitan dengan siswa SD.........................
a. permasalahan dilingkungan sekolah.
1) Contoh kasus yang mewarnai dunia SD.....................................
2) Jenis-jenis hukuman yang sering dialami anak SD.....................
3) Faktro penyebab guru melakukan kekerasan terhadap siswa...
b. Permasalahan dilingkugan masyarakat
1) Contoh kasus hukum yang melibatkan anak SD...............................
2) Jenis-jenis kekerasan........................................................................
3) Apa yang dilakukan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum?..............................................................................................
4) Pandangan perlakukan hukum terhadap anak dari segi psikologi....
5) Faktro penyebab anak melakukan tindak kriminal
C. Dampak kekerasan terhadap anak.............................................................
D. Penyelesaian permasalahan hukum yang berkaitan dengan siswa SD..
1. Penyelesaian permasalahan anak secara hukum.........................................
a. UU no 3 tahun 1997..............................................................................
b. pasal-pasal yang mengatur tentang hukum anak................................
c. Upaya perlindungan anak melalui UU no.23 tahun 2002 Tentang perlindungan anak..........................................................
d. Pasal-pasal UU Perlindungan anak...................................................
e. Bagaimana cara memperlakukan anak?.............................................
2. Penyelesaian masalah anak secara edukatif............................................
a. prosedur menghukum anak..................................................................
b. Adakah hukuman tanpa kekerasan yang membuat anak jera?...........
Bab III Penutup........................................................................................................
A. Simpulan.....................................................................................................
B. Saran..........................................................................................................
Daftar pustaka...................................................................................................................










BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Anak merupakan karunia dari Tuhan yang maha esa,Keberadaannya merupakan karunia yang harus dijaga,dirawat dan dilindungi.setiap anak secara kodrati memiliki harkat martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan yang maha esa yang merupakan anugerahnya yang wajib dihormati,dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum,pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Oleh karena itu pengakuan dan penghargaan terhadap anak dilakukan dengan memberikan perlindungan terhadap kepentingan anak. perlindungan terhadap anak merupakan hal yang penting untuk dilakukan,karena anak merupakan tunas,potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa,memiliki peran yang strategis yang memiliki ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Sebagai generasi penerus,anak patut diperlakukan secara menusiawi,dididik dan diperhatikan penuh kasih sayang. Hal-hal tersebut menjadi hak anak justru diabaikan oleh orang dewasa.dalam pandangan masyarakat secara keseluruhan (dalam semua ednis) bahwa anak adalah milik keluarga maka dalam hubungan fungsionalnya dalam keluarga,anak yang harus menghormati,berbakti dan membalas budi orang tua atau keluarga maka salah satu manifestasinya adalah anak harus patuh kepada orang tua atau orang dewasa yang memiliki macam-macam kehendak.hal ini tentu saja harus diperhatikan oleh kita sebagai orang dewasa,terutama kita para guru atau calon guru agar lebih bijak dalam memperlakukan anak. Namun tidak sedikit juga anak yang berperilaku menyimpang mulai dari perilaku pelanggaran disekolah sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.jenis dan karakteristik perbuatannya tidak berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukun yang dilakukan anak-anak disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: dampak negatif perkembangan,pembangunan yang cepat,arus globalisasi dan pembangunan yang begitu cepat,arus globalisasi dibidang komunikasi,kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua: anak yang kurang atau tidak dperhatikan oleh orang tua,kurangnya bimbingan asuhan dan pengenalan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.
Hal-hal inilah yang menyeret anak terjerumus dalam arus pergaulan masyarakat yang kurang sehat dan merugikan perkembangannya dan ujung-ujungnya anak berhadapan dengan hukum dan disebut sebagai “anak nakal”.
Menurut Undang-undang no.3 tahun 1997,pasal 1,disebut bahwa anak nakal (anak yang telah berumur 8 tahun melakukan tindak pidana,atau melakukan tindakan yang dinyatakan terlarang,baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat), pemerintah telah mengambil berbagai usaha untuk menanggulanginya. Salah satu diantaranya adalah dengan cara mengajukan pelanggar hukum anak atau anak nakal ke pengadilan.
Mengajukan anak nakal ke pengadilan berarti pula membatasi hak kebebasan dan kemerdekaan dari anak, sedangkan kita tahu hak kebebasan dan kemerdekaan itu adalah hak setiap manusia yangmemiliki nilai yang sangat tinggi sehingga berbagai undang-undang memberikan perlindungan secara khusus terhadap kebebasan dan kemerdekaan itu.
Menurut Susenas pada tahun 2000 mencatat jumlah anak nakal 47.081 anak, kemudian menurut Pusdatin Depsos jumlah anak nakal 193.155 anak (tahun 2002). Sumber lain dari statistik kriminal kepolisian pada tahun 2000 mencatat 11.344 tersangka anak. Anak yang menjadi tahanan rutan pada tahun 2003 tercatat 9.465 anak. Lebih dari 4.000 anak seluruh Indonesia diajukkan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti mencuri atau sejumlah 3.600 anak (90%) ditahan karena perbuatan melawan hukum.
Pertanyaannya diberlakukan seperti apakah anak-anak yang membuat pelanggaran dan berhadapan dengan hukum itu?. Untuk itu kami para penulis dalam makalah ini akan membahas lebih rinci mengenai permasalahan hukum yang berkaitan dengan siswa SD dan penyelesaiannya secara hukum dan edukatif (pendidikan moral). Semoga lewat pembahasan makalah ini, kita diberikan pemahaman mengenai bagaimana cara memberikan hukuman (punishment) secara bijak kepada anak yang bermasalah didalam kelas maupun anak yang berhadapan dengan hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hukum ?
2. Mengapa Anak harus berhadapan dengan hukum?
3. Bagaimana cara pandang secara psikologis mengenai tindak pidana anak?
4. Bagaimana cara Melindungi anak agar terhindar dari kekerasan?
5. Haruskah anak dihukum dengan kekerasan?
6. Adakah Hukuman lain yang tanpa kekerasan namun efektif bagi perbaikan pelanggaran anak?

C. Tujuan
Adapun penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai pengertian hukum.
2. Memberikan pemahaman kepada pembaca agar mengetahui pentingnya perlindugan terhadap anak dari tindak kekerasan.
3. Menjadi bahan refleksi bagi para pembaca agar paham terhadap permasalahan anak serta bijak dalam menghukum anak(tidak melakukan kekerasan kepada anak.
4. Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan kesadaran kepada orang tua,guru atau siapapun agar memperlakukan anak secara manusiawi.dengan demikian tingkat kriminalitas terhadap anak akan berkurang.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum
Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata materiil, sedangkan dalam arti kata formal, hukum adalah kehendak ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku, tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu hukum mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan dan kepastian dalam masyarakat tempat tempat hukum diciptakan.
Berikut beberapa pendapat para ahli hukum yang telah memberikan definisi antara lain sebagai berikut :
1. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu. ( E. Utrecht, 1961: 12)
2. Hukum adalah karya manusia berupa norma- norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu, prtama-pertama, hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan.(Satjipto, 1986: 20).

Bertitik tolak dari beberapa definisi hukum tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa hukum terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut :
• Peraturan atau kaidah-kaidah tingkah laku manusia dalam pergaulan antarmanusia (masyarakat)
• Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib .
• Peraturan merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak tentang adil atau tidak adil serta apa yang dianggap baik atau buruk.
• Peraturan bersifat memaksa.
• Peraturan mempunyai sanksi yang tegas dan nyata.

Kejahatan dalam kehidupan merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan Negara. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran,Setiap negara tentu saja memiliki peraturan hukum masing-masing,termasuk dinegara kita yaitu: mulai dari dasar negara Pancasila,hukum dasar negara yaitu UUD 1945 serta Undang-undang. Namun seyogyanya suatu peraturan,tidak sepenuhnya dapat manghapus kejahatan. Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan hanya dapat dicegah atau dikurangi, tetapi sulit diberantas secara tuntas.

B. Permasalahan Hukum Yang Berkaitan Dengan Siswa SD
Menurut pendekatan teori behavioristik, pada hakikatnya perilaku manusia merupakan hasil belajar dan pengamatan dari perilaku orang lain, dan dapat diubah. Dituliskan Hetty dalam makalahnya (2011) bahwa prinsip perilaku dalam psikologi belajar anak mencakup beberapa hal,salah satunya adalah “Anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana tempat ia berada”.
Perkembangan anak memang tidak terlepas dari perkembangan lingkungan dimana tempat ia berada.Lingkungannya yang dimaksud tidak hanya keluara inti, tetapi juga saudara, sekolah, tetangga, maupun teman-teman. Koji Yamashita, sebagaimana dikutip Apong Herlina menyatakan ”Anak belajar dari cara mereka dibesarkan”. Kalau mereka dibesarkan dengan kritikan maka mereka akan belajar untuk mencari-cari kesalahan orang lain, kalau mereka dibesarkan dengan permusuhan, maka mereka akan belajar untuk berkelahi. Jika mereka dibesarkan dengan toleransi, maka mereka akan belajar bersabar, kalau mereka dibesarkan dengan perlakuan adil maka mereka akan belajar menghargai”.Pernyataan tersebut menunjukan bahwa lingkungan yang positif akan memberikan perkembangan kejiwaan atau mental yang baik pula pada si anak, sedangkan lingkungan yang negatif membuat si anak mudah meniru dan terpengaruh oleh perbuatan-perbuatan yang menyimpan dari lingkungan. Walaupun bukan berarti bahwa anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang positif tidak akan menjadi penjahat, namun harus diakui bahwa peniruan dalam masyarakat memang mempunyai pengaruh yang besar sekali. Walaupun setiap kehidupan manusia bersifat khas sekali, dapat disetujui, bahwa banyak orang dalam kebiasaan hidupnya dan pendapatnya mengikuti keadaan lingkungan dimana mereka hidup. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung,akan mempengaruhi anak dalam perkembangan yang menuju arah negatif dan dampaknya, anak akan menjadi korban maupun anak menjadi pelaku kriminal.
a. Permasalah dilingkungan Sekolah
Terkait dengan permasalah anak dalam dunia pendidikan khususnya sekolah dasar,kita sering mendengar banyak sekali kasus-kasus anak yang melakukan pelanggaran. Namun ironisnya,kebanyakan kasus yang terjadi,justru dilakukan oleh guru. Hal ini tentu menjadi tanda tanya bagi kita,mengapa justru guru yang melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya? Sosok yang seharusnya membimbing siswa-siswinya untuk mempunyai perilaku yang baik,justru memberikan contoh yang sebaliknya.
Banyak kasus kekerasan terhadap siswa yang dilakukan oleh guru konon dilakukan dalam rangka siswa-siswi yang melakukan kesalahan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “adakah hukuman yang tidak mengandung unsur kekerasan fisik,tetapi tetap efektif untuk membenahi perilaku salah siswa?”
Hal lain yang juga menjadi permasalahan adalah disuatu sisi,siswa dihukum sedemikian rupa atas kesalahan yang dilakukannya,tetapi disisi lain siswa tidak mendapatkan penghargaan positif dari perilaku positif siswa. Dalam hal ini ada sebuah analogi yang dapat digunakan yaitu “saat kita memelihara tanama”. Biasanya yang kita lakukan adalah hanya memangkas ranting-ranting yang tidak teratur dan patah namun kita tidak menyirami dan memupuknya dengan baik. Jika hal ini yang kita lakukan,tentunya tanaman kita tersebut tidak dapat tumbuh dengan baik.dalam hal ini,pemangkasan dianalogikan sebagai penghukuman,sementara pemupukan dan penyiraman adalah penghargaan dari guru.Dengan demikian,kita bisa membayangkan bagaimana jika siswa hanya mendapat hukuman terus-menerus dan tidak pernah dipupuk serta disiram dengan penghargaan positif dari guru,tentu yang terjadi adalah”Ketidakseimbangan dalam perkembangan psikisnya”.
Diindonesia Kasus kekerasan terhadap anak meningkat dari 1.626 kasus pada Januari-Juni 2008 menjadi 1891 kasus pada Januari-Juni 2009. Jumlah tersebut dihitung berdasarkan laporan yang masuk ke Komisi Nasional Perlindungan Anak, tetapi jumlah tersebut tidak sesignifikan bila dibandingkan dengan kasus kekerasan terhadap anak yang sebenarnya terjadi di lapangan.
“Dari 1.891 kasus pada tahun 2009 ini terdapat 891 kasus kekerasan di lingkungan sekolah,” kata Direktur Nasional World Vision Indonesia Trihadi Saptoadi di Jakarta, Kamis 23 Juli 2009.

1. Berikut beberapa contoh kasus yang mewarnai dunia SD:
Desember 2008
Seorang guru sekaligus kepala sekolah sebuah SD Negeri di Batam menendang siswa saat apel pagi, hanya karena terlambat.

Februari 2009
Seorang Guru SD 001 Kecamatan Limapuluh, Pekan Baru yang berinisial HNB men-jewer dan menampar berkali-kali di depan kelas, Heriyandi dan Muhammad Dzaki murid kelas IIC, hanya karena mereka tidak bisa menghapal tugas dari gurunya.

Maret 2009
Seorang Guru Komputer Sekolah Luar Biasa (SLB) di Medan Sumatera Utara yang bernama Aliyusar menampar wajah muridnya Muhammad Iqbal, hanya karena Iqbal bertanya alasan penghapusan file miliknya di computer sekolah.

Februari 2012
Kasus penganiayaan terhadap seorang anak yatim yang masih duduk di bangku SD oleh oknum guru agama di Wonogiri telah masuk ke dalam ranah hukum.

Kamis, 21 Februari 2013, 15:27 WIB VIVAnews - Kekerasan guru terhadap murid kembali terjadi. Seorang siswa sekolah dasar terganggu pendengarannya setelah mendapatkan pukulan dari sang guru.
Contoh-contoh kasus kekerasan di atas hanyalah sebagian kecil dari jumlah kasus kekerasan di dunia pendidikan yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Kekerasan sepertinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan di Indonesia. Dengan alasan pendidikan (dengan tujuan untuk mendidik kedisiplinan) guru melakukan tindak kekerasan terhadap muridnya.

Pasal 60 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan “Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.” Selain itu seharusnya “Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.” Tetapi anak-anak yang seharusnya diajar disekolah malah dihajar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab entah itu dari kalangan guru maupun dari kalangan siswa sendiri.
2. Jenis-Jenis Hukuman Yang Sering Dialami Anak SD
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa menghukum yang tidak tepat(menghukum dengan cara yang salah) sering kali berdampak negatif pada siswa. Pada dasarnya hukuman itu ada dua,yaitu jukuman langsung dan hukuman tidak langsung. Hukuman langsung merupakan tindakan yang diberikan kepada siswa setelah memunculkan perilaku negatif,sedangkan hukuman tidak langsung merupakan hukuman yang tidak secara langsung diarahkan sebagai bentuk hukuman kepada siswa,tetapi lebih bersifat sindiran,bahan renungan,dan sumber pelajaran bagi siswa.
Hukuman banyak sekali yang bersifat negatif,dan susahnya adalah masih banyak guru yang masih setia dan memilih jenis hukuman negatif ini untuk siswa-siswi mereka.
Beberapa contoh Hukuman negatif yang sering dilakukan terhadap anak yaitu:
a. Ditampar f. Paparan suara keras
b. Dicubit g. Gelitik panjang
c. Dipukul h. Dijambak
d. Kejut Listrik i. Dilempar dengan benda
e. Bak mandi dingin j. Dan lain-lain
3. Faktor-Faktor Penyebab Guru Menghukum/melakukan kekerasan kepada Siswa
a. Warisan Generasi Sebelumnya
Hal ini adalah hal yang sangat mendasar dan banyak sekali terjadi ditengah-tengah kita.Guru dan orang tua merasa kesulitan melepaskan diri dari perilaku menghukum,disebabkan oleh proses belajar sosial yang sudah terbentuk optimal pada lingkungannya.
perilaku menghukum ini seperti sudah terstruktur dan mendarah daging sehingga ada anggapan bahwa kalau guru tidak menghukum,berarti guru itu tidak tegas dan membiarkan dirinya”diinjak-injak” oleh siswa. Hal ini adalah prinsip yang salah,namun ternyata masih ada yang merasa seperti itu.
b. Keterbatasan guru pada ilmu psikologi perkembangan anak
Dr. Encok Mulyasa menyebutkan dalam bukunya bahwa salah satu fungsi guru adalah sebagai konselor dan psikolog bagi siswanya sehingga seorang guru harus memahami teori dan praktik psikologi perkembangan siswa. Guru yang memiliki pengetahuan psikologi siswa tentu akan berpikir sekian kali untuk memberikan perlakuan negatif,karena ilmu berbanding lurus dengan perilaku.
c. Minimnya Kreativitas pendekatan Guru
Guru yang kratif tentu akan memiliki beragam cara untuk membuat siswanya belajar dengan baik,tanpa harus cepat-cepat meberikan hukuman.
d. Sistem Sekolah
Banyak guru yang mengeluh bahwa dalam mengahadapi jumlah siswa yang terlampau banyak dalam kelas,pemberian hukuman adalah jalan satu-satunya agar siswa mau tertib dan menuntaskan tugas-tugasnya. Hal ini berkaitan dengan sistem sekolah.jika sekolah berhasil membangun sistem mendidik tanpa menghardik,sejak awal,kemungkinan lanjutannya adalah para guru dan semua orang yang terlibat dalam sekolah itu akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk para siswa.
e. Faktor genetika
Menurut Faud Nasori dalam jurnal ilmiahnya menyebutkan bahwa faktro genetika individu memiliki peran yang cukup penting dalam keputusan menghukum atau tidak menghukum siswa,guru-guru yang terlahir dari orang tua yang cenderung agresif,tentunya mamiliki kemungkinan untuk bertindak yang sama seperti yang diajarkan guru atau orang tuanya dulu.perilaku ini bersifat turunan dan dalam psikologi sering disebut sebagai “trait” yaitu perilaku bawaan dari orang tua.

b. Permasalah dilingkungan Masyarakat
Kasus-kasus hukum yang menjerat anak tidak terlepas dari persoalan besar di lingkungan keluarga, tetangga, teman sebaya (peers group), maupun lingkungan sekolahnya. Tidak ketinggalan faktor kemudahan akses teknologi informasi memiliki andil besar atas terjadinya kondisi yang dialami sebagian besar anak-anak kitasekarang ini.
Terpasungnya hak anak, dimana mereka kerap diposisikan sebagai subyek penyebab beragam kasus kejahatan, subyek masalah kekerasan fisik (tawuran), maupun subyek masalah narkotika. Di sisi lain, menjadi obyek eksploitasi dan pelecehan seks. Merujuk fakta pemberitaan media, terungkap betapa rentannya posisi anak untuk tercerabut hak-haknya di lingkungan tempat tinggalnya.
Banyak fakta berita yang mengungkap permasalahan anak dari perspektif hukum, hakdasar, dan konstelasi pemicu dan pemacu ragam kasus anak yang menggambarkanbetapa eksistensi anak menjadi hal yang amat sangat serius. Gambaran yang terekam dan terekspose media - cetak maupun online - mempertegas bahwa masih banyak dijumpai kasus-kasus factual yang mewakili sebagian besar dari kondisi anak bangsa. Dimana mereka yang masih berusia anak telah berurusan dengan hukum dan termarjinal dari hak-hak dan peranannya sebagai anak.
Menurut KPAI memantau sebanyak 919 kasus, diantaranya 216 kasus kekerasan seksual.Hal ini dapat dilihat dari data secara umum bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,637 juta jiwa, sebanyak 85,7 juta di antaranya anak. Sekitar 40.000 anak yang dieksploitasi secara seksual baik karena korban trafiking maupun dilacurkan.Sekitar 2,5 juta anak korban kekerasan baik fisik, psikis, seksual maupun social dan 4,5 juta anak dipekerjakan. Sebanyak 3 juta anak melakukan pekerjaan bahaya. (web UNICEF, 11/4/2010). Kementerian Sosial menyebutkan terdapat 4,8 juta anak terlantar.
Sementara itu,Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak yang dilansir oleh Tempo online menyebutkan, bahwa tercatat 788 anak terjerat permasalahan hukum selama periode Januari hingga Juli 2012.

Dari 788 kasus tersebut, kasus pencurian menjadi kasus terbanyak anak berhadapan dengan hukum yang berjumlah 312 kasus. Disusul kemudian dengan kasus kekerasan 128 kasus, kasus penggunaan senjata tajam 119 kasus, penyalahgunaan narkoba 79 kasus, perjudian 37 kasus, pelecehan seksual 24 kasus, pembunuhan 6 kasus, dan penculikan sebanyak 2 kasus.
Ada pun proporsi jenis kelaminnya adalah 759 anak laki-laki berhadapan dengan hukum dan anak perempuan sebanyak 29 anak.

Dari pantauan Komnas Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum harus berada di kursi pesakitan akibat melakukan berbagai jenis kejahatan, seperti pencurian, kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan lainnya. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist M. Sirait mengatakan; kemiskinan telah menjadi akar utama permasalahan anak berhadapan dengan hukum dalam konferensi pers di kantornya Senin, 23 Juli 2012. Sumber:http://tempo.co/read/news/2012/07/23/173418693/Komnas-Anak-788-Anak-Terjerat-Hukum.

1. Beberapa contoh kasus hukum yang melibatkan anak SD
 Beberapa contoh kasus permasalahan anak berhadapan dengan hukum dapat dilihat pada kasus-kasus yang dialami MS di Depok dalam kasus pembunuhan;
 kasus DW, 14 tahun, bocah penjambret Rp 1.000,- dimana Hakim menyatakan DW tidak pantas dihukum dengan penahanan;
 Kasus anak tusuk anak ini dilakukan tersangka AM (13), siswa kelas 6 SDN I Cinere, Depok, Jawa Barat terhadap temannya sendiri, Syaiful (13). Tersangka kini menempati ruang tahanan berukuran 3 x 4 di rumah tahanan khusus anak di Mapolsek Beji, Depok, Jawa Barat.
 pendakwaan 10 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tangerang terhadap 10 anak SD yang hanya karena diduga melakukan kasus judi koin di halaman parkir Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.
 Aparat Kepolisian Polsekta Bontoala juni 2012 masih menahan empat orang anak dibawah umur yang tersangkut kasus pidana pencurian yang sempat kabur dari tahanan beberapa waktu lalu.
Selain kasus-kasus diatas,masih banyak kasus-kasus lain yang menimpa anak dibawah umur yang diberlakukan secara kasar,antara lain :kasus pemerkosaan anak,perdagangan anak,penyiksaan anak dan kasus kekerasan terhadap anak lainnya.
2. Jenis-Jenis Kekerasan
a. Kontak fisik (memukul,mendorong,mencubit,mencakar,termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain)
b. Kontak verbal langsung (mangacam,mempermalukan,merendahkan,mencela,mengintimidasi,memberi panggilan nama yang buruk,mengejek)
c. Perilaku nonvebal langsung(melihat dengan sinis,menjulurkan lidah,menampilkan ekspresi wajah yang merendahkan,atau mengancam)
d. Perilaku nonvebal tidak langsung(mendiamkan sesorang,memanipulasi persahabatan/suatu hubungan hingga retak,sengaja mengucilkan atau mengabaikan.)
e. Pelecehan seksual

3. Apa yang Dilakukan Terhadap Anak yang berhadapan Dengan Hukum?
Selama ini sistem peradilan(cryminal justice system) di indonesia menganut proses pro justicia mulai dari penyelidikan,penuntutan dan persidangan dipengadilan.sistem kekuasaan kehakiman diindonesia, pengadilan anak berada dibawa lingkup peradilan umum.secara faktual,anak nakal yang melakukan kejahatan akan mengalami proses peradilan pidana yang dapat diartikan secara luas yaitu meliputi: sebelum disidang pengadilan,selama disidang pengadilan dan setelah sidang pengadilan. Selama proses ini,tidak jarang si anak harus langsung ditahan,artinya anak belum memiliki ketetapa hukum atas perkaranya.sehingga diasumsikan si-anak membutuhkan perlindungan khusus(children in need of special protection) tanpa adanya perlindungan terhadap anak,anak-anak yang melakukan kejahatan akan berpotensi menjadi penjahat besar.padahal anak adalah penerus cita-cita bangsa.
Menurut Apong Herlina,pada saat anak menjalani proses peradilan,terutama anak-anak yang ditahan maka pada saat itulah seorang mengalami penderitaan yang berkepanjangan.penderitaan tidak hanya terjadi selama menjalani proses peradilan tapi juga setelah selesai melewatinya.
Banyak anak-anak berkonflik dengan hukum dan diputuskan masuk dalam lembaga pemasyarakatan yang diajukan melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Anak (SPP Anak).
Kita sering mendengar bahwa hasil pengadilan mengecewakan dan kita tidak melihat suatu perlakuan yang positif dan bermanfaat SPP Anak. Meskipun sudah ada berbagai perangkat hukum, tampaknya tidak cukup membawa perubahan berarti bagi nasib anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka mendapat perlakuan yang buruk bahkan kadang-kadang lebih buruk dari perlakuan terhadap orang dewasa pada suatu situasi yang sama.
Perlakuan buruk ini tidak hanya terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) namun tindak kekerasan terhadap mereka sering dialami sejak berada di kantor polisi dengan alasan kekerasan sering menjadi bagian dari upaya untuk memperoleh pengakuan dari korban.
Banyak sekali kasus “ketidakadilan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,diantaranya:
a. Tidak jarang anak ditahan bersama dengan tahanan orang dewasa,akibatnya anak sering menjadi korban kekerasan.
b. Anak ditahan dan menjalani hukuman dalam waktu lama sehingga anak kehilagan kesempatan untuk sekolah.pada saat bebas mereka harus menanggung beban karena malu serta ditolak dari sekolah karena dianggap kriminal.
c. Tidak jarang anak yang diberlakukan secara kasar baik dirutan maupun dikantor polisi. Kecenderungan anak ditampar,ditarik,ditendang,membersihkan mobil polisi,membersihkan kamar mandi, disetrum, diinjak, bentuk kekerasan lain berupa tindakan memaksa anak dan lain sebagainya.






4. Pandangan Perlakuan Hukum Terhadap Anak Dari Segi Psikologi
a. Seto Mulyadi (kak Seto)
Psikolog Anak sekaligus Ketua Komnas PA, Seto Mulyadi berharap istilah Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak diganti dengan RUU Peradilan Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Sebab, anak-anak sendiri tidak bisa dipidana.

"Anak-anak itu hanya korban, mereka bukan pelaku kriminal yang harus dimasukan dalam rutan bersama dengan orang dewasa," kata Seto kepada wartawan setelah pertemuan tokoh HAM dengan Ketua DPD, Irman Gusman, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/2).

Menurutnya, kewenangan untuk mengatasi anak-anak yang bermasalah semestinya berada di bawah pengawasan Kementerian Sosial (Kemsos) bukan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham). "Nanti di Kemsos disediakan panti rehabilitasi dan perlindungan. Tapi bisa juga diserahkan ke pihak orangtua anak tersebut. Intinya, jangan dimasukan penjara, karena penjara bukan untuk anak-anak," tegasnya.

Dia (Kak Seto) mengaku pernah bertanya ke sejumlah anak yang berada di rutan, apakah mereka mau menjadi polisi? "Anak-anak itu tidak ada yang mau jadi polisi, tapi jadi tentara. Alasannya, mereka mau tembak polisi," ungkap Seto.

Dia menjelaskan, bahwa anak-anak yang ditanyakannya itu seperti mempunyai dendam terhadap polisi. "Hal itu sangat disayangkan sekali. Padahal 25 tahun lalu saya ciptakan lagu polisi sahabat anak. Kami bangga polisi Indonesia. Tapi, orangtua mereka sekarang bertanya, apa kami bisa cintai polisi yang menyiksa anak-anak," jelasnya.

Ditambahkannya, pihak kepolisian harus memberi perhatian terhadap sejumlah kasus kekerasan terhadap anak. "Banyak kasus kekerasan yang anak-anak itu jadi korbannya. Mereka n. Meski ada juga polisi yang baik dengan mengupayakan cara penyelesaian yang baik. Karena itu, mohon di akademi kepolisian ditekankan hak terhadap anak," harapnya.

Dia menuturkan, peran DPD sebagai penampung suara masyarakat di luar DPR harus memperhatikan masalah hak anak.

"Mohon kiranya betul-betul disampaikan ke pihak pengambil kebijakan. Karena kalau tidak, sayang sekali kalau DPD tidak ada fungsingnya sebagai penyambung lidah rakyat," tandasnya. [CKP/L-9]

b. Mustofa
Menurut Mustofa, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anak-anak dalam periode usianya yang masih muda disebut sebagai kenakalan, karena dianggap tindakan pelanggaran tersebut dilakukan dengan tanpa adanya kesadaran penuh bahwa tindakan tersebut salah. Istilah kenalkalan juga dipergunakan untuk menyebut tindakan yang bila dilakukan oleh orang dewasa tidak mengandung konsekuensi hukum , tetapi tindakan-tindakan tersebut belum pantas dilakukan oleh anak yang belum mencapai usia dewasa.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh anak untuk melakukan tindak pidana tidak sama dengan orang dewasa. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak merupakan kenakalan atau delinkuensi.Delinkuensi anak memberikan kekhususan bentuk kejahatan yang dilakukan seorang anak sebagai sebab-dari faktor-faktor kejahatan dan pelanggaran yang terdapat dalam diri anak itu sendiri atau faktor lingkungan sosial tempat anak itu berada. Berbagai bentuk penyimpangan prilaku sosial anak dan akan menjadi objek delinkuensi anak yang potensial manakala faktor-faktor penyimpangan tersebut tidak mendapat reaksi dari kepentingan hukum nasional, khususnya mengenai hukum pidana dan acara pidana.

5. Faktor Penyebab Anak melakukan Tindakan Kriminal
a. Lingkungan
Kasus-kasus hukum yang menjerat anak tidak terlepas dari persoalan besar di lingkungan keluarga, tetangga, teman sebaya (peers group), dan sekolah, maupun faktor kemudahan akses teknologi informasi yang massif dengan filterisasi yang masih lemah, baik di dalam keluarga maupun pemerintah.
b. Tekanan Ekonomi
Anak yang berlatar keluarga miskin dan mengalami ketimpangan sosial cenderung tidak dapat berpikir rasional, utamanya ketika ia menginginkan kemapanan yang sama seperti orang-orang yang ia lihat sehari-hari. Selain itu, perilaku negatif anak sebagai dampak dari melemahnya kontrol sosial terhadap proses pengasuhan dalam keluarga,sekolah maupun masyarakat masih jelas terasa hingga kini.
c. Gangguan Psikologi(faktor dari dalam diri)
anak yang mengalami gangguan psikologi dapat bertindak melakukan hal-hal yang diluar nalarnya tanpa memikirkan dampaknya. Gangguan psikologi ini dapat berbentuk: trauma akibat masalalu,dendam,emosi yang tidak stabil atau faktor kelainan sejak lahir.


C. Dampak Kekerasan Terhadap Anak.

 Menurut Ilmu Psikologi Semakin muda usia seorang anak mengalami kekerasan fisik, semakin besar kesannya dan kemudian akan semakin besar dampaknya. Hal ini jelas sekali terutama bila kekerasan berlanjut sepanjang kehidupan anak.selain itu Hubungan si anak dengan pelaku juga sangat menentukan “bila si anak mempunyai hubungan sangat dekat dengan pelaku, perasaan penghianatan akan semakin besar”; orang yang diharapkan bisa melindungi justru menyakiti anak tersebut.

 Menurut Ilmu Psikologi Anak,mengatakan bahwa didalam otak kita dan anak kita,ada bagian yang disebut “Limbik” sebagai pengatur rasa nyaman dan ketenagan bagi anak.namun,fungsi limbik ini tidak optimal jika anak selalu dalam keadaan cemas dan takut karena Kekerasan/hukuman.ketakutan itu akan mempengaruhi bagian korteks dalam otaknya yang kemudian berpengaruh pada kemampuan berpikir,kemampuan menganalisis,kemampuan memecahkan masalah,dan kemampuan mengambil keputusan. Sehingga anak yang merasa terancam akan cenderung cepat memutuskan tindakan angresif walau berakibat merugikan dirinya sendiri karena ia terbiasa berpikir pendek sehingga hasilnya adalah:
Anak emosional, menolak mencoba hal-hal baru, takut salah dan menghindar anak akan menyerang diri sendiri, baik secara fisik (melukai diri sendiri) atau secara emosional ( menyalahkan diri sendiri)
seperti ketika anak melawan orang lain.

 Trauma yang cukup panjang
Dampak hukuman pada trauma anak cukup besar. Orang tua,guru atau pihak lain yang tidak selektif memberikan hukuman kepada anak,bisa berdampak trauma panjang bagi siswa. Sebagai contoh : mungkin banyak ditemukan disekeliling kita tentang anak-anak yang tidak lagi bersemangat melanjutkan sekolah karena kecewa dengan perlakuan gurunya. Lebih paranya anak mengalami trauma yang panjang karena suatu kekerasan,anak akan merasa takut walau hanya mendengar langkah kaki,suara,atau takut melihat orang lain yang berpenampilan mirip dengan sosok yang memperlakukannya secara kasar.

 Beban Psikologis
anak mengalami tekanan psikologis dan menganggap dirinya sama jahat dengan para pelaku kriminal dewasa lainnya sehingga mereka diberi cap dan Lebel sebagai “anak Nakal” atau “Narapidana”.
 Pendendam
Banyak anak yang merasa kecewa dengan perilaku kasar yang diperlakukan kepadanya dan biasanya anak akan menyimpan dendam secara pribadi dalam dirinya,dan bagi anak tertentu dendam tersebut dapat tersimpan dalam “long term memori” atau ingatan jangka panjang yang terus menghantuinya.


D. Penyelesaian Permasalahan Hukum Yang Berkaitan Dengan Siswa SD

1. Penyelesaian Permasalahan Secara Hukum

a. Menurut UU No 3 tahun 1997 ( sebelum UU no.23 tahun 2002)
Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggung jawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman, (sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus pelanggaran hukum), anak harus mendapat perlakuan khusus yang membedakannya dari orang dewasa.

Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Selain itu, pelaksanaan proses peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak.

Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam UU Pengadilan Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana.
Namun pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya adalah pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi tentang latar belakang anak secara keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti kronologi kejadian, motif, gambaran mengenai seriusitas kasus, kondisi tersangka, dll.

Litmas juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang bersangkutan dan rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa disebut vonis) apa yang terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari kembali ke orang tua, pidana bersyarat, pidana dengan keringanan hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak negara, dan anak sipil.

Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat.

Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa penjara atau rehabilitasi institusional masih dapat diupayakan untuk diganti dengan program pembinaan di luar lembaga, kompensasi, atau restitusi bagi korban, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum. Selama proses hukum berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta agar anak diberi tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar juga dipertimbangkan mengingat anak masih harus bersekolah.

Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Yang ada barulah hakim anak, sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem hukum kita memandang masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan pengadilan anak, menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang terlibat masih merupakan pertimbangan hukum' semata, yang mendasarkan keputusannya pada apakah si anak bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum, tingkat seriusitas perbuatannya, dan catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini terdapat kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran hukum oleh anak yang ditangani polisi, diteruskan ke dalam proses pidana selanjutnya, dan sebagian besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir dengan keputusan pemenjaraan, dimana seharusnya kedua hal tersebut menjadi alternatif upaya yang paling terakhir.

b. Pasal-Pasal yang Mengatur tentang Hukuman anak

Terdapat pasal yang mengatur tentang hukuman anak yang menjadi pelaku pada tindak pidana yaitu pada pasal 28 B dalam undang undang. Berdasarkan UUD pada pasal 28B tersebut yang menyatakan”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” tampak bahwa seorang anak wajib mendapatkan perlindungan atas hukum yang ada.

Perangkat Hukum Peradilan Anak
Secara umum
KUHP Pasal 45-47,
UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 66
UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 16, 17, 18, 59, 64, dan 78
Secara khusus
UU nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
UU nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Kesepakatan internasional yang tercantum dalam Aturan Standar Minimum PBB bagi Penyelenggaraan Pengadilan Anak (UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice) atau “Beijing Rules” (1985).

c. Upaya Perlindungan anak Melalui Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 “Tentang Perlindungan Anak”

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Kalimat ini tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
1. ketentuan umum Undang-Undang perlindungan Anak
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,tumbuh,berkembang,danberpartisipasi,
Secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Tujuan Undang-undang perlindungan anak
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,tumbuh,berkembang,dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,demi terwujudnya anak indonesia yang berkualitas,berakhlak mulia dan sejahtera.

Bagaimanapun anak bukanlah Miniatur orang dewasa,anak mempunyai ciri dan karaktristik tersendiri,sehingga harus diperlakukan secara berbeda atau istimewa pula,harus tetap diperhatikan hak-haknya,kelangsungan hidupnya dimasa depan dan juga harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Demikian juga dalam Undang-undang nomor 23 tahun2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 64 Ayat 1 yangmenyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Pada Pasal 64 Ayat 2 disebutkan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai martabat dan hak-hak anak itu sendiri
2. Penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini
3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;
5. Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua dan keluarga;
7. Perlindungan melalui pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Prinsip yang berhubungan perlindungan hukum pidana pada anak yang akan di terapkan, dan yang akan di terima oleh anak-anak akan di sesuakan terlebih dahulu dengan konversi hak-hak anak itu sendiri, dan seperti yang sudah diratifikasikan pemerintah tepatnya pada tanggal 26 januari 1990 yang lalu yang di adakan di New York Amerika Serikat yang telah di tegaskan bahwa:
1. Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau secara sewenang-wenang;
2. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisahkan dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan dengan keluarganya;
3. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan serta menentukan dasar hukumnya.
Dan berdasarkan keputusan tersebut maka anak anak mendapatkan perlindungan hukum khusus untuk melindungi anak anak agar mereka tetap meraih hak haknya, dan mereka dapat menjadi generasi muda penerus bangsa.
Selain itu,Penangkapan, penahanan, atau penghukuman seorang anak harus sesuai dengan hukum, akan diterapkan sebagai upaya terakhir (last resort), dan untuk jangka waktu yang palingpendek”. Dalam Pasal 37 ayat c KHA dinyatakan “Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi, dihormati martabat kemanusiaannya, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak seusianya”.
Di Indonesia, hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur di dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang mengatur tentang pemeriksaan terhadap anak yang harus dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan.
Setiap anak berhak didampingi oleh penasihat hukum. Tempat tahanan anak harus terpisah dari tahanan orang dewasa. Dalam Undang-undang juga disebutkan bahwa penahanan dilakukan setelah sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anakdan atau kepentingan masyarakat. Hukuman yang diberikan tidak harus di penjara atau tahanan melainkan dapat berupa hukuman tindakan dengan mengembalikan anak ke orangtua atau wali.
Jadi, atas dasar perundang-undangan tersebut, upaya-upaya yang seharusnya dilakukan pada anak-anak yang berkonflik dengan hukum adalah upaya diversi dan keadilan restoratif (Restorative Justice).

d. Berikut ini beberapa pasal dari 93 pasal dalam Undang-Undang Perlindungan anak.
 pasal 13 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak “mengatur bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali ataupun pihak lain berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan”:
Diskriminasi
Diskriminasi atau yang dalam pengertian kata yang artinya perbedaan perlakuan adalah sebuah kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita bahkan mungkin kita pernah mengalami bahkan juga pernah melakukannya. Perlakuan diskriminasi ini sangat tidak dibenarkan karena merupakan upaya menghambat kesempatan seseorang. Perlakuan diskriminasi dapat terjadi di lingkungan keluarga, masyarakat bahkan dilingkungan pemerintahan.
Seperti contoh, di lingkungan keluarga masih ada perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan. Di lingkungan masyarakat masih ada perbedaan perlakuan antara masyarakat biasa dan masyarakat berkelas serta di lingkungan pemerintah.
Seperti di sekolah masih ada perbedaan perlakuan antara anak orang miskin dan anak orang kaya atau anak pejabat. Undang-undang perlindungan anak sangat melarang perlakuan ini bahkan apabila dapat dibuktikan perlakuan tersebut akan dikenakan sanksi hukum.
Eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual)
Perlakuan eksploitasi terhadap anak atau pemanfaatan anak untuk kepentingan/ keuntungan sendiri sering terjadi di mana-mana. Hal ini mungkin disebabkan faktor kemiskinan akan tetapi perlakuan ini sangat tidak dibenarkan karena merampas hak-hak anak untuk mendapatkan perlakuan yang baik. Perlakuan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi misalnya anak usia sekolah diharuskan bekerja baik untuk kebutuhan diri anak sendiri maupun untuk membantu ekonomi orang tuanya.
Kejadian ini banyak terjadi baik di kota-kota maupun di desa-desa. Perlakuan eksploitasi secara seksual banyak terjadi di kota-kota di mana banyak pekerja-pekerja seks atau pekerja di tempat-tempat hiburan masih berusia anak-anak (di bawah 18 tahun) bahkan ada sampai diperjual belikan oleh sindikat-sindikat tertentu. Perlakuan ini bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak bahkan diancam sanksi hukum apabila dapat dibuktikan.
Penelantaran
Perlakuan penelantaran sering terjadi di mana orang tua dan masyarakat tidak peduli keadaan dan nasib anak. Hal ini bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak dimana anak mendapat perlakuan yang layak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat selaku manusia.
Kekejaman, Kekerasan, dan Penganiayaan
Perlakuan kekejaman, kekerasan dan penganiayaan sering terjadi di mana-mana bahkan mungkin dilingkungan kita sendiri. Perlakuan ini menunjukkan bahwa masih banyak orang tua dan masyarakat belum memiliki sifat manusiawi dan sukan melampiaskan kekesalan serta kemarahan dengan anak yang merupakan makhluk lemah.
Ketidakadilan
Perlakuan ketidakadilan sering kita jumpai baik di lingkungan kita sendiri maupun melalui pemberitaan di media. Perlakuan ketidakadilan bisa terjadi antara orang tua, guru, masyarakat bahkan pengadilan terhadap anak. Perlakuan ini bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak bahkan diancam dengan sanksi hukum.

 Pasal 16 undang-Undang No.23 tahun 2002 Tentang Perindungan anak.
1) setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
3) Penangkapan,penahanan,tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.



 Pasal 17 undang-undang no.23 tahun 2002 Tentang perlindungan anak
1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. Mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

 Dalam Bab III
Ketentuan Pidana Undang-Undang Perlindungan Anak
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian,baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;atau
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan,baik fisik,mental,maupun sosial,
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah)

E. Bagaimana cara memperlakukan Anak?
Undang-undang perlindungan anak mengatur serta memberikan sanksi hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran seperti tersebut di atas. Dengan adanya Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diharapkan para orang tua dan masyarakat khususnya lembaga-lembaga yang aktivitasnya berhubungan dengan anak dapat memahami serta melaksanakan upaya perlindungan anak, agar anak sebagai penerus bangsa dapat terwujud.
Dilihat dari pengertian tersebut diatas, jelas bahwa dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah merupakan suatu upaya yang luhur dari pemerintah dan negara untuk menjamin pengakuan hak azazi manusia yang pelaksanaannya sejak usia anak.
Pelindungan yang diberikan terhadap anak ini meliputi dari seluruh aspek kehidupan dengan tujuan tidak ada lagi perlakuan yang salah terhadap anak meliputi perlakuan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.
Kalau ada anggapan-anggapan bahwa anak adalah hak orang tua sepenuhnya dan orang lain tak boleh ikut campur itu adalah salah. Selagi tidak melakukan kekerasan baik fisik maupun mental itu adalah hak orang tua sepenuhnya. termasuk lembaga yang berkaitan dengan anak seperti sekolah dan lain-lain.
Upaya–upaya pembentukan disiplin silahkan dilakukan baik dengan memberikan hukuman-hukuman jera tetapi tidak dengan melakukan
kekerasan atau kekejaman dengan menimbulkan luka atau cacat baik fisik maupun mental. Karena hal ini bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak serta diancam dengan sanksi hukum. Dalam upaya memberi kan pelayanan yang baik dan benar dilakukan upaya-upaya pelayanan ramah anak.
Sering kali kita mendengar keluhan-keluhan baik dari orang tua maupun lembaga-lembaga yang aktivitasnya berhubungan dengan anak-anak,mereka merasa tidak nyaman dengan adanya undang-undang tentang perlindungan anak ini, dimana mereka merasa serba salah dan takut disalahkan apabila melakukan tindakan-tindakan terhadap anak. Anggapan ini tidaklah benar karena undang-undang perlindungan anak ini pada prinsipnya tidak menghambat maupun melarang dilakukan penegakan disiplin terhadap anak, tetapi sepanjang tidak dilakukan secara kekerasan sampai menimbulkan cacat baik fisik maupun mental tidak dipermasalahkan.
Kenyataan yang terjadi sering kali kita saksikan baik di lingkungan kita sendiri maupun pemberitaan di media tentang kejadian-kejadian yang mengatas namakan pembinaan maupun penegakan disiplin tetapi dilakukan secara brutal di luar kemanusiaan bahkan dengan kejam yang luar biasa bahkan dengan menggunakan benda-benda yang keras untuk memukul. Apakah ini dinamakan pembinaan? Atau penegakan disiplin? Kalau hal ini yang terjadi pastilah kekerasan namanya, dan akan berhadapan dengan undang-undang perlindungan anak melalui sanksi-sanksi hukum.


2. Penyelesaian Masalah Anak SD Secara Edukatif
Memberikan hukuman sebenarnya adalah sebuah tindakan yang diambil oleh seseorang (orang tua,guru,atau pihak lain)untuk menghilangkan perlilaku negatif anak dengan maksud tindakan hukuman itu memberikan efek jera pada perilaku negatif tersebut sehingga perilaku negatif tidak muncul lagi. Secara teori,kegiatan menghukum memang manjadi sesuatu yang sah-sah saja untuk dilakukan,bahkan pada kondisi tertentu harus diberikan.Hal ini berarti bahwa memberikan hukuman pada anak itu pada prinsipnya adalah BOLEH.namun,yang sering menjadi masalah adalah banyak kita yang belum memahami bagaimana implementasi perilaku menghukum yang lebih manusiawi (lebih tepat) untuk anak.ketidaktahuan ini membuat tindakan memberi hukuman itu beralih peran sebagai tindakan kekerasan dan agresi guru atau orang tua terhadap anak.
a. Prosedur menghukum anak
 Jenis hukuman yang diberikan perlu disepakati diawal bersama anak.
 Jenis hukuman yang diberikan harus jelas sehingga anak dapat memahami dengan baik konsekuensi kesalahan yang ia lakukan
 Hukuman harus dapat terukur sejauh mana efektivitas dan keberhasilannya dalam merubah perilaku anak
 Hukuman harus disampaikan dengan cara yang halus,tidak disampaikan dengan cara yang menakutkan,apalagi memunculkan trauma
 Hukuman tidak berlaku jika ada stimulus dari luar kontrol.artinya,siswa melakukan kesalahan karena sesuatu yang ia tidak ketahui sebelumnya dan atau belum disepakati dan belum dipublikasikan diawal.
 Hukuman dilaksanakan secara konsisten karena jika siswa menangkap ada jeda dan ruang kosong dari pemberian hukum,hal itu akan melenakan siswa untuk kemudian memunculkan perilaku yang tidak diinginkan lagi.
 Hukuman segera diberikan jika perilaku yang tidak dinginkan muncul.sebab penundaan memberi hukuman akan berakibat pada biasnya tujuan hukum yang diberikan.

b. Adakah Hukuman Tanpa Kekerasan yang Membuat anak Jera?
“Pak guru,anak saya bilang senang dihukum Pak guru,katanya disuruh siram bunga kalau terlambat masuk sekolah,dan menyiram bunga itu adalah kesukaan anak saya,mohon diberikan hukuman yang lebih bisa membuat ia jera dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama”.
Kata-kata itu disampaikan oleh seorang wali murid kepada seorang guru yang memberikan hukuman menyiram bunga kepada anaknya. Awalnya hukuman menyiram bunga tersebut diharapkan menjadi hukuman yang positif dan tidak menyakitkan siswa,malah berujung siswa tersebut merasa senang dengan hukuman yang diberikan gurunya.
“Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana jenis hukuman yang bisa diberikan pada siswa untuk membuatnya jera?”
Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam memberi hukuman bernuansa positif pada siswa,sebagai berikut.
1. Hukuman Yang Bersifat Positif
Apapun hukuman yang diberikan kepada anak,sebaiknya bersifat positif sehingga hasilnyapun positif pada siswa.sebab jika hukuman berlandaskan pada hal-hal negatif,bukan tidak mungkin akan menimbulkan hal negatif pula.
2. Hukuman Tidak Membuat Trauma
Hukuman yang baik adalah hukuman yang tidak membuat anak trauma dengan apa yang ia terima.sebab,banyak hukuman yang tanpa sadar akan berdampak trauma psikis berkepanjangan pada siswa.selain dampak trauma juga akan muncul dampak dendam berkepanjangan pada diri siswa karena pilihan hukuman yang tidak tepat diberikan guru kepadanya.
Hukuman yang beresiko trauma ini biasnya bersifat publish (dilakukan didepan banyak orang),menyakiti,membuat malu dam memberikan tekanan pada siswa.
3. Hukuman Tidak Membuat Sakit Hati
Hukuman yang menyakitkan biasanya akan berdampak pada sakit hati anak berkepanjangan. Satu contoh yang membantu kita memahami hal ini adalah pada kisah seorang siswa yang hingga 10 tahun masih memendam dendam dan benci pada sosok guru yang telah memberi hukuman”menyakitkan”pada dirinya. Sebut saja si A,hingga 10 tahun berjalan,si A masih memendam benci pada gurunya yang telah memukul bagian wajahnya tanpa ampun,hanya gara-gara ia mengenakan seragam sekolah yang “mungkin”bagi sang guru tidak sopan.akibat pukulan tersebut,si A masih menyimpan rasa benci pada sang guru.
4. Hukuman Memberikan Efek Jera
Efek jera tidak selalu bersifat negatif.efek jera ini bisa saja hukuman positfi,tetapi ia adalah hal yang tidak disukai oleh anak untuk dijalankan sehingga siswa merasa lelah menjalankannya.Efek jera bia muncul jika hukuman yang diberikan bersifat menekan dan anak sangat tidak nyaman berada dalam posisi”terhukum”. Jika memberikan hukuman yang terlalu ringan atau apalagi hukuman itu dijalankan oleh siswa dengan semangat,bisa jadi hukuman tersebut tidak berdampak apa-apa pada siswa,justru berbalik arah dari yang diharapkan.
5. Hukuman Yang Bersifat Pembelajaran
Hukuman sebaiknya bersifat pembelajaran yang berarti ada nuansa belajar dalam setiap kebijakan hukuman yang diberikan.dengan demikian,sekali mendayung,dua tiga pulau terlewati.sebaiknya dalam memberi hukuman ada kandungan aspek pembelajaran bagi si anak. misalnya,dalam sekolah guru menghukum siswa dengan memberi tugas menyelesaikan soal evaluasi Matematika dua kali lipat banyaknya karena tidak mengerjakan tugas PR.
Mudah-mudah dengan dilakukan upaya perlindungan anak dan perilaku menghukum anak dengan baik dan benar, cita-cita masyarakat madani serta terhindar dari kekerasan akan terwujud yang pada akhirnya terwujud pula bangsa Indonesia yang kuat dan jauh dari “Kekerasan”.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak merupakan karunia dari Tuhan yang maha esa,Keberadaannya merupakan karunia yang harus dijaga,dirawat dan dilindungi.setiap anak secara kodrati memiliki harkat martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun.
Meskipun anak sering melakukan pelanggaran,namun kita sebagai orang dewasa harus paham bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anak-anak dalam periode usianya yang masih muda disebut sebagai kenakalan, karena dianggap tindakan pelanggaran tersebut dilakukan dengan tanpa adanya kesadaran penuh bahwa tindakan tersebut salah. Anak bukanlah miniatur orang dewasa,anak memiliki hak asasi sebagai manusia yang harus diperhatikan oleh orang dewasa secara khusu.untuk itu negara memberikan perlindungan khusus kepada anak melaui “Undang-undang Perlindungan anak”.Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,tumbuh,berkembang,dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,demi terwujudnya anak indonesia yang berkualitas,berakhlak mulia dan sejahtera.

B. Saran
Berikut ini beberapa penulis menyarankan beberapa saran yang perlu diperhatikan oleh kita semua:
1. Hendaklah kita sebagai orang tua,guru,pengasuh atau siapapun agar menyayangi anak dan memperlakukan anak secara manusiawi.
2. Sebagai orang tua atau guru,sebaiknya kita memperhatikan hak-hak anak, serta memberikan hukuman yang bersifat mendidik tanpa harus menggunakan kekerasan anak.


Daftar Pustaka :
 Undang-undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
 Undang-undang Hukum Pidana
 Paul.Hendry.2008.Konseling dan Psikoterapi anak.Yogyakarta:Idea publishing.
 Piaget.Jean.1969.Psikologi anak.Yogyakarta:Pustaka pelajar.
 Arrasjid.Chainur.2001.Dasar-Dasar Ilmu Hukum.Jakarta:Sinar Grafika.
 Gaza.Mamik.2012.Bijak Menghukum Siswa.Jakarat:Ar-Ruzz Media.
 Internet :
• http://tempo.co/read/news/2012/07/23/173418693/Komnas-Anak-788-Anak-Terjerat-Hukum.
• Viva news.kekerasan terhadap anak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar